Ratapan Pembantu Disiksa Majikan
SETRIKA PANAS MENDARAT DI TANGAN
Empat tahun lalu, Ika (25) jauh datang dari Singkawang ke Bekasi agar bisa mandiri meski menjadi pembantu rumah tangga. Namun, ia mesti mengalami nasib naas dianiaya majikannya. Berikut penuturannya saat ditemui, Sabtu (5/8) di Bekasi
Tak pernah terbersit dalam pikiranku bakal mengalami peristiwa pahit seperti ini dalam hidupku. Sejak kecil, aku dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh kedua orang tuaku. Meski hanya menjadi petani di Singkawang, Kalimantan Barat, mereka tak pernah memarahi apalagi memukulku. Di keluarga, aku anak keempat dari tujuh bersaudara, dan satu-satunya anak perempuan yang belum menikah. Kelima saudaraku yang lain laki-laki.
Aku tak mau menjadi beban bagi keluargaku. Meski hanya lulusan SD, aku ingin hidup mandiri dan punya uang sendiri. Itu sebabnya, dengan tekad bulat aku minta izin pada orang tuaku untuk mencari pekerjaan di kota, yang jaraknya satu jam perjalanan dengan bus dari rumah. Aku diizinkan. Pada awal tahun 2003 itu, aku tinggal di rumah kenalan bersama beberapa orang lain yang juga sedang mencari pekerjaan. Kenalanku itu bukan agen tenaga kerja. Aku hanya menumpang di sana.
Sebulan kemudian, datang Bu RY, wanita asli Singkawang yang kemudian menjadi majikanku. Bu RY adalah teman si pemilik rumah. Dia sedang mencari pembantu untuk bekerja di rumahnya di Bekasi. Ia menanyakan kesediaanku. Aku setuju.
Setelah sempat pulang ke rumah orang tua untuk minta izin dan membawa baju seadanya, Februari 2003 aku berangkat ke Bekasi bersama Bu RY. Berdua kami naik kapal. Aku senang, apalagi dijanjikan digaji Rp 200 ribu per bulan. Jumlah yang menurutnya cukup besar.
KENYANG DIPUKULI
Setiba di rumah Bu RY, aku segera bekerja. Tugasku menyapu, mengepel, menanak nasi, mencuci baju, membersihkan rumah, dan mengasuh anak tunggalnya yang berusia sembilan tahun. Awalnya, Bu RY mengajariku cara memasak, mencuci dan lain-lainnya sesuai keinginannya. Aku menurut saja. Layaknya manusia, aku juga membuat kesalahan. Awalnya, Bu RY hanya menasihatiku.
Namun, lama-kelamaan dia mulai marah tiap kali aku dianggapnya bersalah. Salah memotong sayur saja, aku mendapat tamparan. Namun, kalau merasa tidak melakukan kesalahan, aku mencoba membela diri. Aku tak sadar, ucapanku itu justru menjadikannya makin marah dan makin getol menamparku. Dia juga semakin murka kalau aku berteriak kesakitan akibat pukulannya. Sejak itu, diperlakukan sekasar apa pun, aku hanya diam.
Sikap majikanku tidak berhenti, tapi sikapnya malah semakin menjadi. Bahkan, bila dia sedang kesal karena persoalan lain, akulah yang dijadikan sasaran. Rasanya aku kenyang dipukuli setiap hari. Seolah tak puas hanya menampar, dia juga mulai menganiayaku dengan cara lain. Punggungku dihajar dengan gagang sapu, sedangkan merang sapunya dilapkan ke wajahku.
Pernah saat dia sedang kesal, aku kembali dimarahi. Waktu itu aku sedang mencuci sambil berjongkok. Aku memilih diam saja karena tak ingin mendapatkan pukulan lagi. Tapi tetap saja dia kesal. Pantatku ditendang hingga aku jatuh terjerembab. Dia juga sering mencakar wajah, leher, dan tengkukku dengan kuku-kuku tangannya yang panjang. Bekas lukanya sampai sekarang sangat banyak dan tak hilang.
Sambil mengomel, dia juga sering mencubit telinga kiriku sampai berdarah. Lalu, tanpa menunggu hitungan jam, dia menampar telingaku yang masih berdarah itu. Rasanya perih bukan main. Sebab, belum juga sembuh, telingaku kembali dicubit dan ditampar berkali-kali. Sekarang, daun telingaku jadi cacat, berlipat-lipat dan penuh bekas luka.
Belum lama ini, waktu aku sedang menyeterika, Bu RY kembali mengomel. Aku dianggapnya lambat bekerja. Tiba-tiba saja dia mengambil seterika panas itu dan menempelkannya ke tangan kiriku. Sakitnya bukan main, tapi aku tak berani mengaduh. Sampai sekarang, bekas luka masih terpampang panjang di tanganku. Belakangan ini, tiap marah dia juga langsung mengambil gunting dan memotong rambutku seenaknya.
Itu sebabnya, rambutku jadi tak beraturan begini. Entah apa maksudnya melakukan hal itu. Suami Bu RY yang bekerja sebagai PNS di Polda Metro Jaya, sebetulnya tahu aku dipukuli, tapi tidak berbuat apa-apa. Malah, dia menyuruh istrinya untuk memukulku, bila aku dianggap jorok karena berbicara dengan orang lain. Tak hanya itu, anaknya pun gemar memarahi, menendang, dan memukulku dengan gagang sapu bila kuminta mengerjakan PR. Tapi Bu RY tak tahu.
INGIN PULANG KAMPUNG
Sabtu sebelumnya, aku disuruh Bu RY ke pasar Rawa Kalong, yang biasa kutempuh selama 30 menit bersepeda dari rumah. Selesai berbelanja di pasar, entah mengapa, sepedaku berbelok ke gereja di daerah itu. Aku menemui Bu Ani (nama samaran, Red.) dan suaminya yang tinggal di belakang gereja dan mengurus tempat ibadah itu.
Pada mereka, kuceritakan masalahku dan minta didoakan agar tabah. Senin, sepulang dari pasar, entah mengapa aku kembali menemui Bu Ani di gereja. Besoknya, tekadku bulat untuk kabur.
Pagi itu, aku kembali diomeli karena dianggap tak becus bekerja. Bahkan Bu RY mengaku menyesal memberi baju dan kebutuhan pokok pada orang tuaku saat ia pulang ke Singkawang. Aku bilang, aku tak pernah memintanya melakukan itu. Bu RY marah dan menggunting rambutku. Nah, sejak itu aku tak mau lagi tinggal di rumah Bu RY. Ditemani suami Bu Ani, aku melaporkan Bu RY ke polisi.
Sayang, beberapa hari kemudian Bu RY tahu keberadaanku, entah dari mana. Meski tidak berhasil menemuiku, ia mengatakan pada Bu Ani bahwa aku kabur dengan mencuri uang Rp 200 ribu, membawa uang belanja Rp 50 ribu dan perhiasan miliknya. Semua itu tak benar. Aku hanya membawa sepeda yang kupakai belanja dan uang belanja Rp 20 ribu. Sekarang semuanya masih ada. Kelak, setelah masalah ini selesai, aku akan mengembalikan sepeda dan uangnya secara utuh.
Kudengar sekarang Bu RY kabur. Aku ingin dia dihukum setimpal. Tentu aku juga akan minta gajiku selama ini serta ganti rugi untuk mengobati semua bekas lukaku. Aku sendiri tidak kapok menjadi pembantu. Kelak setelah lukaku membaik, aku ingin pulang ke kampung, bertemu orang tuaku yang entah sudah tahu atau belum mengenai masalahku sekarang.
LUKA CAKAR DI BAWAH MATA
Sabtu (29/7) adalah kali pertama Ika datang ke gereja tempat Ani dan suaminya mengabdi. Pasangan ini tinggal di persis di belakang gereja tersebut. Pertama datang, ujar Ani, bagian bawah mata dan bibir Ika berdarah. "Sekitar setengah tahun lalu dia pernah ke mari. Setelah itu, ternyata dia tidak boleh ke gereja. Rupanya dia masih ingat pada gereja ini, dan datang ke mari pada saat sudah tidak tahan lagi," ujar Ani.
Senin (31/7), Ika kembali datang dan minta perlindungan. Kali itu, ada tiga luka cakar yang dilihat Ani di bawah mata Ika. "Besoknya, waktu dia datang lagi, saya tanyai apa keinginannya, mau lapor polisi atau tetap kerja di sana. Dia memilih lapor polisi dengan diantar suami saya," lanjut Ani.
Untuk sementara, karena tak punya tempat tinggal lain dan tak punya saudara di Bekasi, Ika tinggal di rumah Ani. "Awalnya dia sering melamun dan diam saja. Kami sering menasihati dan mengajaknya berdoa bersama supaya masalah ini cepat selesai," imbuh wanita berambut pendek yang enggan menyebut nama aslinya ini.
Kanit Reskrim Polsek Tambun Iptu Nyoman Wilasa membenarkan pihaknya tengah menangani kasus Ika. Sampai sekarang, pihaknya sudah memeriksa beberapa orang saksi, termasuk Ika dan suami RY. RY sendiri, menurut Wilasa, belum diperiksa. "Sejak didatangi banyak wartawan beberapa hari lalu, dia pergi entah ke mana. Saat kami ke sana dia sudah tidak ada," tutur Wilasa yang akan terus mencari RY.
Polisi sendiri belum bisa menetapkan RY sebagai tersangka. "Kami harus menegakkan asas praduga tak bersalah. Namun, kalau dia terbukti menganiaya, dia bisa dikenai ancaman pasal 351 KUHP karena melakukan penganiayaan," lanjutnya.
Sumber : http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=12229&no=2
Selengkapnya!